Mandala Nusantara News Jakarta – Dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Rabu, 19 November 2025, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Rizal Bawazier, melontarkan serangkaian pertanyaan kritis dan sorotan tajam terhadap kinerja keuangan PT Pertamina (Persero), khususnya terkait kontribusi pajak perusahaan kepada negara. Rapat yang dihadiri oleh jajaran Direksi Pertamina ini menjadi ajang bagi Rizal untuk mengurai sejumlah permasalahan yang dianggapnya krusial dan perlu segera mendapatkan perhatian serius.
Rizal Bawazier memulai intervensinya dengan mempertanyakan validitas angka kontribusi pajak Pertamina yang diklaim mencapai Rp159 triliun. Menurutnya, angka tersebut terasa janggal dan tidak sebanding dengan total omzet perusahaan yang mencapai Rp1.127 triliun. “Dengan omzet sebesar Rp1.127 triliun, saya rasa sangat tidak mungkin potensi penerimaan pajak bisa mencapai angka Rp159 triliun. Mari kita coba telaah lebih dalam,” ujarnya dengan nada serius.
Rizal kemudian melakukan perhitungan sederhana untuk mengilustrasikan ketidaksesuaian tersebut. “Jika kita asumsikan laba kena pajak Pertamina adalah 5 persen dari total omzet – dan angka ini sudah termasuk sangat maksimal – maka kita akan mendapatkan angka sekitar Rp50 triliun. Nah, dari Rp50 triliun ini, jika dikenakan pajak sebesar 22 persen, maka hasilnya hanya sekitar Rp11 triliun,” paparnya.
Lebih lanjut, Rizal Bawazier menduga bahwa angka Rp159 triliun yang diklaim Pertamina tersebut mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut dari konsumen. Ia menegaskan bahwa PPN yang ditagih Pertamina adalah PPN keluaran, yang secara fundamental merupakan uang konsumen, bukan merupakan kontribusi riil Pertamina kepada negara. “Jadi, ketika kita menagih PPN, sebenarnya konsumenlah yang membayar kepada kita. Jika Pertamina juga membayar PPN dari pihak lain, maka itu akan dikompensasikan. Oleh karena itu, secara prinsip, PPN tidak boleh dimasukkan ke dalam perhitungan kontribusi Pertamina kepada negara. Ini sama saja dengan mengklaim bahwa Pertamina berkontribusi Rp159 triliun, padahal angka riilnya maksimal hanya Rp11 triliun,” tegasnya.
Tidak berhenti di situ, Rizal Bawazier juga menyoroti adanya potensi kehilangan pajak yang cukup signifikan berdasarkan laporan keuangan Pertamina. Ia mengungkapkan bahwa terdapat potensi pemeriksaan pajak dari tahun 2018 hingga 2022 yang mencapai angka Rp6,4 triliun. “Ini adalah potensi kerugian negara yang sangat besar. Jika kita mengajukan keberatan dan banding, belum tentu kita menang di pengadilan pajak. Namun, ironisnya, kita tetap harus membayar terlebih dahulu,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Rizal menambahkan bahwa kontribusi pajak Pertamina yang riil hanya sekitar Rp5 triliun. Oleh karena itu, ia mendesak agar kontrol di bagian perpajakan perusahaan ditingkatkan secara signifikan. “Karena yang namanya wajib pajak yang terkena SKP (Surat Ketetapan Pajak), setahu saya Pertamina harus membayar dulu, meskipun tidak setuju dengan SKP tersebut. Ini tentu sangat memberatkan, apalagi jika harus menunggu proses banding hingga tiga tahun. Ini adalah uang yang hilang, dan jika kalah, kerugiannya sangat besar, mencapai Rp6,4 triliun. Hal ini harus menjadi perhatian utama dari bagian perpajakan Pertamina,” tegasnya.
Selain permasalahan perpajakan, Rizal Bawazier juga mempertanyakan perkembangan pembayaran kompensasi oleh pemerintah kepada Pertamina untuk tahun 2025. Ia meminta penjelasan rinci mengenai sejauh mana kompensasi tersebut telah dibayarkan dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keuangan perusahaan. “Kompensasi ini sangat penting bagi Pertamina untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan energi bagi masyarakat. Oleh karena itu, kami meminta agar pemerintah segera merealisasikan pembayaran kompensasi tersebut secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Di sisi lain, Rizal memberikan apresiasi atas upaya Pertamina dalam menjaga stabilitas penyaluran LPG 3 kg di daerah pemilihannya. Namun, ia juga menyampaikan keluhan terkait penutupan sejumlah Pertashop di beberapa wilayah seperti Pekalongan, Pemalang, dan Batang. “Kami menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait penutupan Pertashop ini. Kami berharap pihak Pertamina dapat memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai alasan penutupan tersebut, karena hal ini sangat merugikan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” tanyanya.
Dengan berbagai isu yang diangkat, Rizal Bawazier berharap agar Pertamina dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan dan pengelolaan keuangan perusahaan. Ia juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembayaran kompensasi kepada Pertamina agar perusahaan dapat terus menjalankan tugasnya dalam menyediakan energi bagi masyarakat Indonesia dengan harga yang terjangkau dan pasokan yang stabil. RDP ini diakhiri dengan harapan agar Pertamina dapat lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan, serta lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.













